Kasus etika
bisnis yang ada di indonesia
1. PT Sriboga Marugame Indonesia maupun
PT. Sarimelati Kencana
Analisis kasus :
Penggunaan bahan kadaluwarsa jelas dilarang dalam praktik usaha, hal
tersebut jelas sudah melanggar UU tentang pangan No 18 tahun 2012 pasal 143,
yaitu “Setiap Orang yang dengan sengaja menghapus, mencabut, menutup, mengganti
label, melabel kembali, dan/atau menukar
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”.
Tidak hanya itu jika kabar menganai kasus ini benar perusahaan juga telah
melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara
tegas telah menjamin keselamatan para konsumen, dengan mewajibkan kepada setiap
produsen untuk menyajikan makanan berkualitas.
Kasus ini juga seakan menggambarkan kelonggaran pengawasan atas
penggunaan bahan-bahan yang akan diolah menjadi makanan. Pada hakikatnya memang
belum tentu makanan yang sudah kadaluawsa jika dikonsumsi akan berbahaya, belum
tentu seperti itu. Namun, sudah pasti kadar gizinya berubah dan rasanya pun
tidak sama lagi. Meskipun dalam berita diatas perusahaan juga telah menjelaskan
sekalipun ada perpanjangan masa kadaluawsa perusahaan tidak melakukannya dengan
tanpa pertimbangan dan penelitian terhadap produknya, perusahaan hanya berani
melakukan perpanjangan masa kadaluwarsa jika mendapat izin dari kendali mutu
dan rekomendasi dari pemasokterlebih dahulu, namun tetap saja jika dilakukan
ada pelanggaran etika di dalamnya, karena sebagai produsen dan pelaku usaha sangat
jelas telah diatur dalam Undang-Undang untuk menjamin kesehatan dan keselamatan
konsumennya.
Penyimpangan Prinsip-Prinsip Etika Bisnis :
Prinsip Kejujuran : Jika benar terbukti PT Sriboga Food Group menggunakan
bahan pangan yang diperpanjang masa kadaluwarsanya perusahaan telah tidak jujur
kepada konsumennya mengenai kualitas produk yang mereka tawarkan kepada
konsumennya. Adanya kasus ini juga bisa menurunkan citra produk perusahaan
tentunya. Ini juga menunjukan bahwa perusahaan belum sepenuhnya bersikap
trasparan dalam menjalan praktik usahanya.
Prinsip Saling Menguntungkan : Prinsip ini menjelaskan bahwa seharusnya
praktik usaha harus menguntungkan pihak yang terlibat didalamnya, dalam kasus
ini konsumen tentu akan dirugikan akibat produk yang ditawarkan berbeda
kualitasnya dengan apa yang ditawarkan oleh produsen. Produsen memang wajar
mencari untung berusaha menekan biaya produksi dan menginginkan gain profit
yang tinggi tapi seharusnya hal tersebut tetap dilakukan sesuai hukum yang
berlaku dan prinsip etika yang dijaga.
Kesimpulan :
Penggunaan bahan pangan kadaluwarsa jelas melanggar hukum, bertentangan
dengan UU Pangan no. 18 pasal 143 dan Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999,
sebagai perusahaan dan pelaku bisnis PT SFG jika terbukti menggunakan bahan
kadaluwarsa dan memperpanjang masa simpan dengan alasan apapun telah
membahayakan keselamatan konsumennya, setra dalam praktiknya perusahaan telah
berlaku tidak jujur kepada konsumennya.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160905075357-20-156072/kronologi-dugaan-bahan-kedaluwarsa-marugame-udon-pizza-hut
2. Albothyl oleh Perusahaan PT PHAROS
Analisis
Dari kasus Albothyl ini, kita tentunya sangat prihatin atas banyaknya
pasien yang telah dirugikan. Tapi kita tidak perlu juga saling menyalahkan dan
mempertanyakan kompetensi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Berkaca dari
kasus Thalidomide, penarikan produk obat karena efek samping yang muncul
meskipun produk tersebut sudah lama beredar di pasaran sangat mungkin terjadi.
Hal ini tentunya dipengaruhi faktor sensitivitas dan reaksi
setiap orang yang berbeda terhadap suatu obat. Farmakovigilans boleh dibilang
tidak hanya dilakukan selama beberapa tahun terhadap suatu obat setelah
disetujui izin edarnya, melainkan selama produk tersebut beredar di pasaran.
Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan
pelanggaran etika bisnis dilihat dari
sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang
yang di rugikan dan perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis
yaiu prinsip kejujuran. Perusahaan tidak terbuka dan memenuhi syarat-syarat
bisnis dan Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan
zat berbahaya dalam produknya. Albothyl yang beredar di pasaran saat ini
mengandung zat bernama Policresulen dengan konsentrasi 36%. Policresulen adalah
senyawa asam organik (polymolecular organic acid) yang diperoleh dari proses
kondensasi formalin (formaldehyde) dan senyawa meta-cresolsulfonic acid.
Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan jaringan pada
sariawan menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada
sariawan akan terasa sangat perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit
pada sariawan pun tidak lagi terasa. Bagi Anda yang pengalaman memakai obat ini
mungkin akan menyaksikan sendiri sesaat setelah albothyl digunakan sariawan
akan menjadi berwarna putih dan kering. Jadi sebenarnya policresulen ini tidak
mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang sakit atau rusak tersebut.
Ketika jaringan sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan regenerasi
sel-sel baru sehingga sariawan menjadi sembuh.
Kesimpulan
Banyaknya
kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih
banyak nya produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa
memikirkan dampak apa yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti
terhadap pengawasan peredaran barang barang yang beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita
mengajak untuk selalu peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik.
Farmakovigilans tidak hanya dilaksanakan oleh industri farmasi tetapi juga
didukung oleh masyarakat awam dan profesional kesehatan di lapangan. Bagi
masyarakat awam, jika menemukan atau mengalami kejadian yang tidak diinginkan
setelah mengkonsumsi suatu obat, bisa menghubungi produsen dan melaporkan
kejadian yang dialami (kecuali kejadian serius yang memerlukan penanganan
segera ke klinik atau rumah sakit). Biasanya produsen memiliki nomor kontak
layanan keluhan konsumen. Keluhan-keluhan ini akan ditindaklanjuti oleh bagian
Farmakovigilans di setiap perusahaan atau produsen.
Bagi profesional kesehatan lain, pelaporan ini bisa dilakukan
dengan mengisi Form Kuning (Formulir Pelaporan Efek Samping Obat) pada website
e-meso.pom.go.id. Untuk kemudian dikirimkan ke Pusat Farmakovigilans / MESO
(Monitoring Efek Samping Obat) Nasional, Direktorat Pengawasan Distribusi
Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI.
MESO yang dilakukan di Indonesia, bekerja sama dengan
WHO-Uppsala Monitoring Center (Collaborating Center for International Drug
Monitoring) yang bertujuan untuk memantau semua efek samping obat yang dijumpai
pada penggunaan obat. Hasil semua evaluasi yang terkumpul akan digunakan
sebagai materi untuk melakukan re-evaluasi atau penilaian kembali pada obat
yang telah beredar untuk selanjutnya menerapkan tindakan pengamanan yang
diperlukan.
3. Pt indofood sukses makmur
·
PT. Indofood
Sukses Makmur,Tbk Tidak Melakukan Pelanggaran Etika Bisnis
Kasus Indomie
yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan
untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah
memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.
Tanggal 9 Juni
2010, Food and Drugs Administration (FDA) Taiwan melayangkan surat teguran
kepada Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan karena produk tersebut
tidak sesuai dengan persyaratan FDA. Dalam surat itu juga dicantumkan tanggal
pemeriksaan indomie dari Januari-20 Mei 2010 terdapat bahan pengawet yang tidak
diizinkan di Taiwan di bumbu Indomie goreng dan saus barberque.
Kasus Indomie
kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala
BPOM Kustantinah. "Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah
terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini," kata
Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadi, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy
Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung
didalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam
benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan
tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian
untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipaginini dibatasi maksimal
0,15%.Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi
manusia dalam kasus Indomie ini.
Kustantinah
menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam
kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam
Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut
Kustantinah.Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di
konsumsi yaitu 250 mgper kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per
kilogram dalam makanan lainkecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi
tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena
penyakit kanker.
Menurut
Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision,produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang
regulasi mutu,gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan
anggota Codec.Produk Indomie yang dipasarkan diTaiwan seharusnya untuk
dikonsumsi di Indonesia.
Kesimpulan dari
sudut pandang ini, perusahaan tidak melakukan pelanggaran etika bisnis sebab
perusahaan sudah mengikuti standar yang ditetapkan, sebab perusahaan dalam hal
penggunaan zat tersebut masih dalam tahap wajar.
PEMBAHASAN MASALAH
Indofood
merupakan salah satu perusahaan global asal Indonesia yang produk-produknya
banyak di ekspor ke negara-negara lain. Salah satunya adalah produk mi instan
Indomie. Di Taiwan sendiri, persaingan bisnis mi instant sangatlah ketat,
disamping produk-produkmi instant dari negara lain, produk mi instant asal
Taiwan pun banyak membanjiripasar dalam negeri Taiwan.Harga yang ditwarkan oleh
Indomie sekitar Rp1500, tidak jauh berbeda dari harga indomie di Indonesia,
sedangkan mi instan asal Taiwan dijual dengan harga mencapai Rp 5000 per
bungkusnya. Disamping harga yang murah, indomie juga memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan produk mi instan asal Taiwan, yaitu memiliki
berbagai varian rasa yang ditawarkan kepada konsumen. Dan juga banyak TKI/W asal
Indonesia yang menjadi konsumen favorit dari produk Indomie selain karena
harganya yang murah juga mereka sudah familiar dengan produk Indomie.Tentu saja
hal itu menjadi batu sandungan bagi produk mi instan asal Taiwan, produkmereka
menjadi kurang diminati karena harganya yang mahal. Sehingga disinyalir pihak
perindustrian Taiwan mengklain telah melakukan penelitian terhadap produk
Indomie, dan menyatakan bahwa produk tersebut tidak layak konsumsi karena
mengandung beberapa bahan kimia yang dapat membahayakan bagi kesehatan.
Hal tersebut
sontak dibantah oleh pihak PT. Indofood selaku produsen Indomie. Mereka
menyatakan bahwa produk mereka telah lolos uji laboratorium denganhasil yang
dapat dipertanggungjawabkan dan menyatakan bahwa produk indomie telah diterima
dengan baik oleh konsumen Indonesia selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Dengan
melalui tahap-tahap serangkaian tes baik itu badan kesehatan nasional maupun
internasional yang sudah memiliki standarisasi tersendiri terhadap penggunaan
bahan kimia dalam makanan, indomie dinyatakan lulus uji kelayakan untuk
dikonsumsi.Dari fakta tersebut, disinyalir penarikan produk Indomie dari pasar
dalam negeri Taiwan disinyalir karena persaingan bisnis semata, yang mereka
anggap merugikan produsen lokal.Yang menjadi pertanyaan adalah mengapatidak
sedari dulu produk indomie dibahas oleh pemerintah Taiwan, atau pemerintah
melarang produk Indomie masuk pasar Taiwan?. Melainkan mengklaim produk Indomie
berbahaya untuk dikonsumsi padasaat produk tersebut sudah menjadi produk yang
diminati di Taiwan.
Dari kasus
tersebut dapat dilihat bahwa ada persainag bisnis yang telah melanggar etika
dalam berbisnis.Hal-hal yang dilanggar terkait kasus pelanggaran etika bisnis
pada perusahaan PT Indofood secara hukum :
·Undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal 3 F yang berisi meningkatkan
kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang/jasa,
kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen
·Undang-undang nomor 8 tahun1999 pasal 4 A tentang hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa·Undang-undang
nomor 8 tahun 1999 pasal 8 yang berisi “pelaku usaha dilarang untuk
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar dengan atau
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.
SOLUSI PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Solusi dalam
pelanggaran akan etika bisnis dalam hal perlindungan konsumen pada kasus yang
dialami perusahaan :
·
Dalam
Undang-undang pasal 62 disebutkan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal
15, Pasal 17, ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,, ayat (2), dan Pasal
18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
·
Terhadap sanksi
pidana sebagaimana dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
1.Perampasan
barang tertentu;
2.Pengumuman
putusan hakim;
3.Pembayaran
ganti rugi;
4.Perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
5.Kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
6.Pencabutan
izin usaha.
KESIMPULAN
Dari kasus
indomie di Taiwan dapat dilihat sebagai contoh kasus dalam etika bisnis. Dimana
terjadi kasus yang merugikan pihak perindustrian Taiwan yang produknya kalah
bersaing dengan produk dari negara lain, salah satunya adalah Indomie yang
berasal dari Indonesia. Taiwan berusaha menghentikan pergerakan produk Indomie
di Taiwan, tetapi dengan cara yang berdampak buruk bagi perdagangan Global.
Tetapi jika
dilihat dari sudut pandang lain, dapat disimpulkan bahwa PT.Indofood tidak
melakukan pelanggaran etika bisnis dan hanyalah kesalahpahaman antara pihak
Taiwan dan Indonesia. Masalah tersebut bertambah karena produk indomie yang di
pasarkan di Taiwan seharusnya untuk di konsumsi di Indonesia bukan di Taiwan,
sehingga terjadilah kasus penarikan produk Indomie di pasaran Taiwan karena
standar yang di tetapkan Taiwan dengan Indonesia berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
http://zakidarmawan03.blogspot.com/2018/04/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html.
4. PELANGGARAN ETIKA BISNIS PT.
FREEPORT INDONESIA
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan
sumber daya alamnya, namun hal itu belum mampu untuk mensejahterakan
masyarakatnya sendiri, terlihat dari masih banyaknya kemiskinan, pengangguran
dan Gap antara orang kaya dan miskin yang terlampau amat jauh. Hal ini di
sebabkan salah satunya karena ketidak mampuan SDM di Negara kita untuk mengolah
SDA agar menjadi barang siap jual. Pada akhirnya benyak eksploitasi alam di
Negara kita di lakukan oleh bangsa asing, sehingga yang seharusnya SDA yang
keuntungannya kita dapat manfaatkan untuk kepentingan Negara dan masyarakat
sendiri harus berbagi dengan orang asing karena belum bisa mengolahnya sendiri.
Seperti salah satu contohnya adalah tambang Emas yang ada di pegunungan
Grasberg dan Ertsberg Papua, tambang ini di kuasai oleh salah satu perusahaan
tambang besar yang berasal dari Amerika. Kontrak dari perusahaan tersebut sudah
di tanda tangani kurang lebih 49 tahun yang lalu, dan masih berlangsung hingga
sekarang. Di perkirakan kontrak tersebut selesai pada tahun 2021.
Dari sekian lamanya waktu operasi yang di
lakukan tambang Emas Freeport tersebut harusnya sudah dapat mensejahterakan
masyarakat banyak khususnya di daerah Papua namun hal tersebut belum terjadi.
Padahal jika kita ketahui eksploitansi alam dilakukan tambang freeport begitu
nyata, dengan meninggalkan berbagai lubang galian yang besar yang mengganggu
keseimbangan alam di sekitaran tambang.
Selain itu, Freport juga mempunyai masalah
dengan pemerintah yaitu masalah tentang ketetapan mengubah izin Kontrak Karya
dengan izin IUPK yang dalam hal ini seharusnya Freeport sebagai perusahaan
tambang yang beroperasi di Negara kedaulatan Indonesia mengikuti apa aturan
yang telah berlaku di Negara Indonesia. Yang sesuai dengan apa yang masyarakat
Indonesia inginkan. Namun hal itu malah di tolak oleh Freeport dan mengancam
akan membawa masalah ini ke pengadilan arbritasi Internasional. Tentu harusnya
tambang Freeport sebagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia harus
mengikuti Hukum yang berlaku di Negara Indonesia agar tidak menjadi masalah
yang merugikan bagi kedua belah pihak
Analisis Masalah
Freeport Indonesia mulai beroperasi di
Kabupaten Mimika, Provinsi Papua dari tahun 1967 sampai dengan sekarang dengan
berdasarkan pada dua Kontrak Karya. KK I pada tahun 1967 dengan masa berlaku
kontrak selama 30 tahun. Dan kemudian pada tahun 1991, dibuat KK II dengan masa
berlaku kontrak selama 50 tahun terhitung dari Kontrak Karya yang ke I.
Berdasarkan Kontrak Karya II ini, luas penambangan Freeport bertambah seluas
6,5 juta acres (atau seluas 2,6 juta ha) (disebut Blok B). Dari Blok B, telah
dilakukan eksplorasi seluas 500 ribu acres (sekitar 203 ribu ha)
Mayoritas saham yang terdapat pada PT.
Freeport Indonesia dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper & Gold Inc, dengan
presentase sebanyak 90,64 %, sementara itu sisanya sebesar 9,36 % dimiliki oleh
Pemerintah Indonesia. Sejauh ini, Freeport McMoran telah melakukan eksplorasi
pada dua tempat di Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Kedua tempat
tersebut diantaranya: tambang Erstberg (operasional dimulai dari tahun
1967-1988) dan tambang Grasberg (operasional dimulai dari tahun 1988- sekarang)
Belakangan ini PT.Freeport Indonesia berulah
kepada pemerintah yaitu tidak mau mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK (izin
usaha pertambangan khusus). Hal ini terjadi karena sesuai dengan UU No.4 tahun
2009 tentang mineral dan batu bara dimana pasal 170 UU minerba menyatakan bahwa
perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya di wajibkan melakukan pemurnian dan
pengolahan tambangnya di dalam negeri sebelum dilakukan exspor dalam kurun
waktu 5 tahun sejak UU tersebut di sahkan. Artinya PT Freeport diberikan jangka
waktu 5 tahun untuk membuat pabrik pemurnian (smelter). Jadi, pada tahun 2014
lalu seharusnya PT Freeport Indonesia sudah melakukan pemurnian hasil
tambangnya di Indonesia agar tetap bisa melakukan kegiatan expornya. Namun
demikian Freeport tidak menggubris yang dalam hal ini PT. Freeport Indonesia
tidak membuat pabrik pemurnian (smelter) yang sebagai mana UU tersebut
mengatur. disini PT Freeport Indonesia sudah jelas melanggar etika hukum yang
berlaku di negara Indonesia yang sesuai amanat bahwa setiap perusahaan yang
beroperasi di Indonesia harus mengikuti UU yang berlaku di negara indonesia
tersebut.
Sesuai dengan peraturan pemerintah No.1 tahun
2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan pemerintah sudah berbaik
hati memberikan IUPK kepada PT Freeport Indonesia agar PT. Freeport dapat
beroperasi kembali, namun harus sesuai dengan peraturan IUPK yang berlaku,
tetapi dalam hal ini Freeport menolaknya dan masih menginginkan KK yang
berlaku. Dan malah mengancam pemerintah dengan cara akan membawa masalah
tersebut ke pengadilan Arbritase internasional.
Selain itu, Jika kita melihat sumbangan yang
di berikan PT Freeport kepada Negara Indonesia juga tidak seberapa terlihat
dari masyarakat di sekitaran tambang yang masih banyak hidup miskin. Hal
tersebut menunjukan PT. Freeport Indonesia tidak menguntungkan untuk
Indonesia tetapi lebih menguntungkan untuk Amerika serikat. Dan biaya CSR
yang di berikan kepada rakyat Papua juga sedikit yaitu tidak mencapai 1 persen
keuntungan bersih PT Freeport Indonesia. justru rakyat Papua membayar lebih
mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya
habitat dan vegetasi.
Kesimpulan
Setelah sekian lama PT. Freeport Indonesia
melakukan eksploitasi tambang di kawasan pegunungan grasberg papua PT. Freeport
Indonesia tidak mau mengikuti peraturan perundang – undangan Negara Indonesia,
malah cenderung mengabaikannya. Yang di langgar oleh PT Freeport Indonesia
antara lain adalah UU No.4 Tahun 2009 yang berisi tentang pertambangan mineral
dan batubara yang salah satunya menyatakan bahwa ‘’mineral dan batubara yang
terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam
tak terbarukan sebagai karunia tuhan yang maha esa yang mempunyai peranan
penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus di kuasai oleh nagara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
secara berkeadilan’’. Artinya PT Freeport harus membuat pabrik pemurnian
mineral (smelter) di Indonesia terlebih dahulu jika masih ingin melakukan
exspor ke luar bukan malah membawa semua mentahannya ke luar. Karena itu adalah
kehendak rakyat banyak. Namun hal tersebut tidak di perhatikan oleh PT Freeport
sehinga yang masa pembangunan smelter seharusnya bisa dilaksanakan selama kurun
waktu 5 tahun setelah UU tersebut berlaku belum di buat – buat sampai sekarang.
Hal tersebut tentunya melanggar etika hukum
peraturan yang berlaku, sebagai perusahaan yang beroperasi di wilayah Negara
Kedaulatan Republik Indonesia seharusnya Freeport mengikuti apa peraturan yang
pemerintah keluarkan, apalagi sudah melanggar dan pemerintah sudah bertindak
baik masih memberikan izin usaha.sebagai perusahaan yang mempunyai Etika dalam
hal ini PT. Freeport harus mengikuti perubahan Kontrak Karya ke dalam IUPK
sesuai dengan peraturan pemerintah No. 1 tahun 2017 jika masih ingin operasi
bisnisnya berjalan.
Berdasarkan teori utilitarianisme,
PT.Freeport Indonesia dalam hal ini sangat bertentangan karena keuntungan yang
di dapat tidak digunakan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar, melainkan
untuk Negara Amerika.
Saran Etika Bisnis
Sebagai perusahaan yang sudah beroprasi cukup
lama seharusnya PT Freeport Indonesia mengikuti peraturan perundang – undangan
yang berlaku dinegara Indonesia agar kegiatan expornya bisa berjalan lancar.
Dan tidak ada kerugian yang di dapatkan baik dari pihak pemerintah maupun pihak
PT Freeport.
Dan untuk pemerintah indonesia di harapkan
bisa lebih tegas dalam menegakkan hukum untuk kesejahteraan masyarakat
Sumber
https://munjiyatsyaiful.wordpress.com/2017/03/28/pelanggaran-etika-bisnis-pt-freeport-indonesia/.
Di akses pada 29 april 2019
5. Pelanggaran Etika Bisnis PT. Tirta Fresindo Jaya
Undang-undang Sumberdaya Air merupakan salah satu Undang-undang yang disusun
melalui pinjaman program Bank Dunia (Water Resources Sector Adjustment Loan)
sebesar US$ 300 juta. Undang-undang ini juga didasari atas cara pandang baru
terhadap air, yaitu air sebagai barang ekonomi yang mendorong terjadinya
komersialisasi, komodifikasi dan privatisasi air. Sebagai turunan, tentu saja
air sebagai barang ekonomi menjadi landasan utama dalam menyusun Undang-undang
Sumberdaya Air.
Dari
pemaparan tentang latar belakang masalah diatas maka penulis menganalisa bahwa
terjadi indikasi pelanggaran Etika Bisnis yang dilakukan oleh PT. Tirta
Fresindo Jaya diantara bukti-buktinya adalah sebagai berikut:
a. Mengacu
konstitusi agraria di Indonesia, bahwa bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber kekayaan agraria yang harus
dilindungi oleh Negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk keadilan dan
kesejahteraan rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) No. 5/1960 oleh karena itu seharusnya PT. Tirta Fresindo Jaya tidak
melakukan eksploitasi dan privatisasi sumber mata air uang merupakan sumber
kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
b. Warga Cadas
Sari dan Baros yang sebagian besar merupakan petani telah dijamin oleh UU No.
19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) dalam
bentuk kepastian hak atas tanah dan lahan pertaniannya namun hak telah oleh PT.
Tirta Fresindo Jaya .
c. Hak
agraria petani Cadas Sari – Baros yang dilindungi UU No.41/2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah direnggut oleh PT.
Tirta Fresindo Jaya dimana seharusnya aktivitas pembangunan lainnya harus
menjamin perlindungan fungsi lahan pertanian yang ada.
Adapun
solusi dalam pelanggaran akan etika bisnis yang dilakukan oleh PT. Tirta
Fresindo Jaya terhadap masyarakat agar masalah ini bisa segera
terselesaikan adalah:
a. Jajaran
kepolisian yakni Polda Banten dan Polres Pandeglang agar segera Membebaskan
tiga orang warga Cadas Sari – Baros yang telah ditetapkan sebagai tersangka
tanpa proses hukum yang jelas.
b. Pihak
Kepolisian Polda Banten dan Polda Pandeglang untuk segera menghentikan tindakan
penyisiran yang dilakukan ke rumah-rumah warga sehingga meninggalkan teror dan
ketakutan di kalangan warga.
c. Pihak
Kepolisian Polda Banten dan Polres Pandeglang untuk segera memproses tindakan
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT. Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group) yang
telah merampas hak-hak agraria warga Cadas Sari – Baros.
d. PT Tirta
Fresindo Jaya agar menghormati surat Bupati Pandeglang ( Erwan Kurtubi) No.
0454/1669-BPPT/ 2014 tertanggal 21 November 2014 perihal penghentian kegiatan
investasi PT. Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group).
5.1 Kesimpulan
Dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya hendaknya perusahaan menerapkan dengan benar
prinsip-prinsip etika bisnis tujuannya agar meminimalisir
pelanggaran-pelanggaran yang tentu saja akan merugikan masyarakat. Secara umum
etika dalam berbisnis merupakan acuan cara yang harus ditempuh oleh sebuah
perusahaan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Untuk itu etika bisnis
memiliki prinsip-prinsip umum yang dijadikan fondasi untuk melaksanakan
kegiatan agar tujuan bisnis dapat tercapai.
Sumber
http://heruseptian84.blogspot.com/2017/04/studi-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html. di akses pada 29 April 2019
#bangganarotama #narotamajaya #dosenkuayurai